Pemimpin Perspektif Buddhis

 

 

Pemimpin Perspektif Buddhis

Oleh Willy Liu

Kita semua tahu bahwa dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat, seorang pemimpin memegang peranan yang sangat penting. Pada zaman dahulu, ketika perang dalam perebutan kekuasaan suatu kerajaan, peranan pemimpin sangat menentukan. Ketika di medan perang, kematian seorang pemimpin prajurit akan mencerai-berai pasukan dan secara otomatis dinyatakan kalah. Begitu pula raja di suatu kerajaan ketika terbunuh maka dikatakan kerajaannya telah runtuh.

Di zaman modern seperti ini, peran seorang pemimpin menjadi lebih penting dan menjadi kunci suatu keberhasilan. Apabila seorang pemimpin keluarga tidak mampu memimpin dengan baik, keluarga akan tidak harmonis. Apabila seorang pemimpin negara tidak arif dalam memimpin, suatu pemerintahan akan menjadi kacau dan terjadi ketidaktenangan dalam kehidupan bernegara. Pun, apabila pemimpin spiritual atau suatu agama tidak bersikap bijak dalam menyebarkan ajarannya, maka yang terjadi adalah umat yang penuh dengan kefanatikan dan anarkis.

Mengetahui betapa pentingnya seorang pemimpin, tentu pertanyaan besar yang muncul adalah bagaimana ciri atau karakter pemimpin yang baik menurut Ajaran Buddha? Hal-hal apa saja yang harys dilakukan oleh seorang pemimpin dalam perspektif Buddhis? Sebelum membahas lebih lanjut, kita akan melihat salah satu karakter pemimpin terbaik sepanjang sejarah umat manusia. Beliau adalah Sang Buddha, Sidhartha Gautama.

 

Memimpin dengan Kearifan

Kita mengetahui bahwa dalam Sang Buddha merupakan seorang figur pemimpin yang ideal. Beliau memimpin berdasarkan ajarannya yaitu berlandaskan kebijaksanaan dan cinta kasih. Sumber-sumber menunjukkan bahwa beliau memimpin penuh dengan demokrasi. Setiap aturan yang ditetapkan oleh Buddha ada alasannya. Setiap kali seorang perilaku muridnya yang kurang baik, Sang Suddha akan menetapkan aturan winaya.

Kepemimpinan Sang Buddha juga terlihat takkala Beliau menyelesaikan konflik yang terjadi pada Suku Sakya dan Suku Koliya. Kedua suku tersebut hampir berperang karena berebut air. Kedua suku tersebut dipisahkan oleh sungai Rohini. Biasanya kedua suku tersebut menggunakan air dari sungai tersebut secara bersama-sama mengairi sawah masing-masing.

Pada suatu musim kemarau, air sungai tersebut berkurang dan membuat hasil panen berkurang. Kemudian, orang-orang dari Suku Koliya mulai mengatakan bahwa air sungai tidak cukup untuk dibagi berdua sehingga mereka yang akan memakai air sungai tersebut sedangkan suku Sakya tidak boleh menggunakannya. Timbullah pertengkaran, caci-maki dan saling menghujat. Lantas yang terjadi adalah sama-sama saling berebut air. Beberapa orang mulai melakukan kekerasan dan memukul suku lainnya sehingga pada akhirnya kedua suku menyiapkan pasukan hendak berperang.

Ketika Sang Buddha datang, Beliau bertanya kepada kedua pemimpin masing-masing suku tersebut. Kedua pemimpin malah tidak mengetahui kenapa sebabnya. Selidik-menyidik, Sang Buddha bertanya langsung kepada warga pekerja dan kemudian dikatakan penyebabnya adalah karena berebut air. Kemudian, dengan kebijaksanaan dan cinta Beliau kepada setiap orang, Beliau bertanya kepada raja masing-masing suku berapakah harga air. Dijawablah bahwa harga air hampir tiada artinya. Lalu, Sang Buddha bertanya, “Berapakah nilai kehidupan rakyat anda?”. Sang Raja menjawab, “tentu saja harga nyawa tiada ternilai harganya.” Kemudian, Sang Buddha Bersabda, “Baiklah kalau begitu. Apakah tepat bahwa untuk air yang hampir tiada artinya, anda akan menghancurkan banyak kehidupan yang harganya tidak ternilai?”

Akhir cerita jelas, kedua pemimpin (raja) tersebut berdamai karena pendekatan Buddha yang arif dan lembut dalam menyelesaikan suatu konflik. Inilah salah satu contoh pemimpin ideal yang melakukan sesuatu dengan cara-cara yang terbaik bagi semua pihak.

 

Karakteristik Pemimpin

Menurut ajaran Buddha, seorang pemimpin yang baik selayaknya mempunyai sepuluh karakter pemimpin (Dasa Raja Dhamma). Di dalam kitab Jataka, disebutkan 10 ciri seorang pemimpin dikatakan baik, yaitu:

  1. Dana (Kedermawanan)

Seorang pemimpin seharusnya murah hati. Pemimpin dapat menjadi contoh bagi pengikutnya. Kualitas kedermawanan ini sangat penting dan bertolak belakang dengan keserakahan, karena dengan kedermawanan seorang pemimpin akan disenangi oleh pengikutnya.

 

  1. Sila (Moralitas)

Seorang pemimpin harus memiliki moral yang baik dan Hukum harus dipatuhi. Setiap pikiran, ucapan dan perbuatan seorang pemimpin haruslah berlandaskan kebaikan dan cinta serta kebijaksanaan.

 

  1. Paricagga (Pengorbanan diri)

Ketika menjadi seorang pemimpin, ia telah berkorban untuk melayani pengikutnya. Seorang pemimpin negara (raja) harus berpandangan bahwa ia akan mengorbankan diri demi kesejahteraan rakyatnya. Kualitas ini penting karena apabila seorang pemimpin tidak mempunyai karakteristik ini, berarti ia ada pemimpin yang egois dan akan selalu mementingkan diri sendiri.

 

  1. Ajjava (Integritas, tulus, jujur)

Sebagai pemimpin tugas-tugasnya seharusnya dilakukan dengan tulus. Dedikasikan sepenuhnya pada apa yang seharusnya seorang pemimpin lakukan. Jujur pada diri sendiri dan orang lain akan membuat pemimpin dihargai oleh pengikutnya dan dihormati dengan tulus.

 

  1. Maddava (Baik hati, Bertanggung jawab)

Siapapun orangnya dan apapun tugasnya, seseorang seharusnya memiliki tanggung jawab pada tugasnya. Pemimpin dituntut mempunyai tanggung jawab ekstra sehingga disiplin sebagai seorang pemimpin. Dengan begitu siapapun akan menghargai pemimpin tersebut sepenuh hati. Seroang pemimpin hendaknya berlaku baik, menjaga sopan santun dan tata krama sesuai norma setempat.

 

  1. Tapa (Sederhana)

Sebagai seorang pemimpin janganlah berlaku sombong dan berlebihan. Menurut ajaran Buddha, kesederhanaan merupakan salah satu kunci untuk melatih diri mengendalikan keserakahan. Gaya hidup mewah sebaiknya dihindari oleh seorang pemimpin. Tunjukkan bahwa kesederhanaan hidup lebih baik dan berarti daripada gaya hidup mewah dan sombong.

 

  1. Akkodha (Tanda kemarahan, tiada membenci)

Jelas, andaikata seorang pemimpin sering marah-marah akan membuat ketakutan pengikutnya dan pengikutnya akan menjalankan perintah bukan berdasarkan kesadaran dan tidak akan optimal. Terkadang pemimpin memang perlu tegas namun bukannya dengan marah-marah berlebihan. Ekspresi seorang pemimpin bisa menegaskan kewibawaannya. Janganlah pemimpin juga menyimpan benci atau rasa tidak senang kepada lawannya. Cobalah bersikap bersahabat daripada membenci.

 

  1. Avihimsa (Tanpa kekerasan)

Seringkali sebagian orang berpikir bahwa dengan kekerasan masalah bisa diselesaikan. Mungkin untuk beberapa kasus bisa, namun umumnya yang terjadi adalah kebencian dan dendam akan semakin kuat dan meluas. Dalam ajaran Buddha belas kasih (karuna) dan cinta universal (metta) memegang peranan aktif dari karakteristik ini.

 

  1. Khanti (Kesabaran)

Banyak masalah timbul dari ketidaksabaran dan emosi negatif sesaat kita. Kemarahan adalah salah satu wujud dari ketidakmampuan kita untuk mengendalikan emosi kita, karena kita tidak berlatih sabar. Untuk itulah kesabaran menjadi salah satu karakteristik pemimpin yang penting.

 

  1. Avirodha (Tidak mencari permusuhan)

Karakteristik yang ini sudah sangat jelas. Tentu saja ini bisa dilakukan apabila seorang pemimpin mempunyai moralitas yang baik, mematuhi hukum, menjaga pikiran, mengendalikan ucapan. Tanpa disiplin moral yang baik, setiap tindakan akan mengundang permusahan orang sehingga akhirnya merugikan diri sendiri juga.

 

Kepemimpinan Perempuan

Seringkali pemimpin identik dengan seorang laki-laki, padahal tidaklah harus demikian. Kita bisa melihat dalam banyak kasus perempuan-perempuan dapat memimpin dengan baik. Salah satu contoh terbaik saat ini adalah Master Cheng Yen. Beliau adalah salah satu pemimpin Buddhis yang namanya tidak asing lagi. Walaupun Beliau seorang biksuni dan memimpin salah satu Organisasi Nirlaba terbesar di dunia, Yayasan Buddha Tzu Chi, Beliau tetap dapat mempunyai sepuluh karakteristik pemimpin seperti yang disebutkan.

Sang Buddha sendiri mengatakan dengan jelas bahwa baik pria maupun wanita mampu menjadi seorang pemimpin bahkan pencerahan menjadi Buddha pun bisa terjadi. Pada suatu ketika, saat Sang Buddha sedang bersama Raja Pasenadi, datanglah seorang pelayan menghampiri raja dan mengatakan, “Baginda, Ratu Malika telah melahirkan seorang anak perempuan.” Raja kemudian menjadi tidak senang mendengar berita tersebut. Sang Buddha dengan penuh perhatian menyadari dan bertanya kepada Raja Pasenadi. Setelah mengetahui sebabnya, Sang Buddha berkata:

“Seorang perempuan, O Raja,

            Bisa menjadi lebih baik daripada dari seorang laki-laki:

            Dia mungkin bijaksana dan luhur,

            Seorang istri yang berbakti, menghormati ibu-mertuanya. (408)

 

“Seorang putera yang dia lahirkan

Mungkin menjadi pahlawan, O penguasa wilayah,

Putera dari perempuan terberkahi seperti itu

Bahkan bisa memerintah dunia.” (409)

 

Samyutta Nikaya I,3 (Bagian Sagathavagga, sutta Kosalasamyutta)

Dari sutta (ucapan Sang Buddha) tersebut, kita dapat melihat bahwa Sang Buddha memandang laki-laki dan perempuan setara dan mempunyai kemampuan yang sama. Di sutta no. 408 bahkan dikatakan seorang perempuan bisa jadi menjadi lebih baik daripada anak laki-laki. Artinya adalah bahwa dengan melatih diri, seseorang dapat menjadi lebih bijaksana, luhur, cerdas baik itu ia seorang perempuan maupun laki-laki. Jadi, dari sini terlihat bahwa perempuan pun dapat memimpin dengan baik dan bijak.

Lebih lanjut sutta no. 409, Sang Buddha mengatakan bahwa mungkin anak dari perempuan yang dilahirkan dan didik dengan baik tersebut akan mempunyai anak yang dapat memerintah dunia. Hal tersebu mengindikasikan bahwa watak seorang anak banyak dipengaruhi ibunya. Inilah salah satu peran perempuan sebagai pemimpin anak-anaknya.

Dengan didikan yang baik dari seorang ibu (pemimpin), seorang anak (pengikut) akan menjadi bijaksana dan luhur. Jadi, peran perempuan menjadi penting untuk menghasilkan generasi yang lebih baik di masa mendatang. Sehingga sangat salah jika dikatakan bahwa perempuan tidak memerlukan pendidikan seperti laki-laki, karena untuk mendidik anak laki-laki atau perempuannya, seorang perempuan selayaknya diberi pengetahuan dan pendidikan yang sesuai.

Lebih lanjut seorang perempuan dapat menjadi seorang pemimpin yang lebih baik daripada laki-laki, begitu pula sebaliknya. Hal ini tidak berarti perempuan harus berlomba-lomba menjadi pemimpin bersaing dengan laki-laki. Perempuan dan laki-laki dapat saling melengkapi.

 

 

Referensi:

Widya, Dharma K. 2007. Dharma Ajaran Mulia Sang Buddha. Jakarta: PP MAGABUDHI.

Hansen, Sasanasena Seng. 2008. Ikhtisar Ajaran Buddha. Yogyakarta: Vidyasena Production.

Wijaya, Willy Yandi. Ulasan Sutta: Anak Perempuan.

Evolusi Kesadaran Menuju Pencerahan

Evolusi Kesadaran Menuju Pencerahan

oleh: Willy Yandi Wijaya

Pengertian Kesadaran

Apa itu kesadaran? Pertanyaan ini perlu dijawab sebelum kita membahas lebih lanjut karena tanpa pengertian yang sama atau sesuai, bisa jadi penafsiran terhadap tulisan ini menjadi terlalu jauh dari yang dimaksud. Kesadaran adalah keadaan seseorang di mana ia tahu/mengerti dengan jelas apa yang ada dalam pikirannya. Sedangkan pikiran bisa diartikan dalam banyak makna, seperti ingatan, hasil berpikir, akal, gagasan ataupun maksud/niat (KBBI). Sebagai gambaran untuk memperjelas, misalnya ada seorang anak melihat balon. Keadaan melihat tersebut yang ia sadari sendiri itu dinamakan kesadaran. Sedangkan balon yang ia lihat yang menimbulkan anggapan besar atau berwarna hijau disebut pikiran (persepsi). Reaksi bagus dan indah sehingga anak tersebut suka adalah bentuk dari perasaan. Kemudian reaksi pikiran yang menginginkan balon tersebut itu yang dimaksud dengan niat/kehendak/maksud. Kata pikiran bermakna sangat luas sehingga ada yang menggunakannya dalam konteks sebagai niat atau kehendak (biasanya dalam Buddhis).

Studi Kesadaran Secara Sains

Mekanisme kerja otak manusia sangat rumit dan sampai saat ini masih diselidiki para ilmuwan, terutama mengenai kesadaran manusia itu sendiri. Otak manusia setiap saat bekerja dan para ilmuwan menggunakan EEG (electroenchepalogram) untuk mengukurnya dan disebut sebagai gelombang otak. Para ahli tersebut mengategorikan gelombang otak yang terukur melalui EEG menjadi 4 jenis, yaitu

  1. Gelombang delta (lebih kecil 4 Hz)
  2. Gelombang theta (4-7 Hz)
  3. Gelombang alfa (8-13 Hz)
  4. Gelombang beta (lebih besar dari 14 Hz)

Gelombang alfa adalah gelombang yang terukur ketika seseorang dalam keadaan biasa, santai dan tidak berpikir hal-hal yang rumit. Sedangkan gelombang beta adalah gelombang yang muncul ketika seseorang memecahkan hal-hal kompleks seperti menyelesaikan soal matematika. Gelombang alfa sangat teratur yang muncul ketika seseorang sedang tenang atau dalam keadaan santai. Gelombang alfa tidak ditemukan pada seseorang yang sedang cemas atau gelisah. Gelombang theta biasanya terdeteksi ketika awal-awal seseorang tidur sebelum ia terlelap lebih dalam menuju ke gelombang delta. Jadi gelombang delta terjadi dalam keadaan tidur lelap.

Kesadaran dalam konsep Buddhisme

Dalam agama Buddha manusia tersusun atas jasmani (rupa) dan batin (nama). Jasmani adalah wujud tubuh kita yang tampak, seperti tangan, kepala, otak dan organ tubuh lainnya hingga susunan sel yang ‘hidup’. Batin terdiri dari kesadaran, pikiran, perasaan dan persepsi. Di dalam ajaran Buddha kesadaran dikenal sebagai winyana (vinnana). Teks-teks Komentar Tripitaka yang belakangan dibuat oleh para ahli buddhis tentang kesadaran malah membagi kesadaran (pikiran) ke dalam berbagai bentuk yang lebih sistematis. Di dalam ajaran Buddha, kesadaran memegang peranan yang paling fundamental karena berperan penting atas pengendalian pikiran sehingga kehendak atau niat-niat yang negatif tidak muncul. Dengan pelatihan mental yang ditawarkan dalam bentuk perenungan dan meditasi, kesadaran seseorang akan semakin besar sehingga setiap tindakan yang dilakukan pikiran ataupun tubuh, akan menjadi kebiasaan yang berulang-ulang tertanam dalam memori otak yang merupakan pandangan hidup seseorang.

Meditasi Sebagai Pengendali Kesadaran

Sidhartha Gautama, Sang Buddha adalah orang (ilmuwan) pertama yang menjadikan studi serta pengendalian atas kesadaran dan pikiran. Pelatihan dalam bentuk meditasi buddhis yang khas adalah sebuah jalan yang ditawarkan oleh Buddha atas pengendalian pikiran dan kesadaran. Sampai saat ini meditasi masih menduduki posisi penting dalam agama Buddha dan selama sekitar 2500 tahun sejak Sang Buddha wafat berbagai metode meditasi pun lahir.

Jika dikelompokkan, meditasi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu meditasi konsentrasi dan meditasi kesadaran. Meditasi konsentrasi adalah suatu cara mengarahkan pikiran agar berkonsentrasi hanya pada suatu objek tunggal. Sedangkan meditasi kesadaran adalah meditasi yang selalu sadar untuk menyadari apa yang sedang dilakukan pikiran, namun tidak berkonsentrasi pada suatu objek yang sedang dipikirkan. Meditasi Samatha dan Samadhi dalam Buddhisme Tibet termasuk kategori meditasi konsentrasi. Sedangkan meditasi vipassana dan meditasi kekosongan dalam Zen bisa dikategorikan sebagai meditasi kesadaran.

Penelitian ilmuwan menunjukkan bahwa seseorang yang sedang meditasi berada dalam gelombang alfa. Artinya bahwa seseorang yang sering melatih meditasinya, akan mudah menenangkan dirinya ketika ada respon yang akan membuatnya cemas atau gelisah. Pada beberapa meditator juga ditemukan gelombang theta yang biasanya terukur hanya pada saat awal-awal tidur sebelum otak menuju gelombang delta yang sangat tenang yang muncul ketika tidur nyenyak. Jadi bisa dikatakan bahwa semakin dalam seseorang bermeditasi, gelombang yang terukur di otaknya akan semakin rendah atau menuju keadaan istirahat (seperti dalam tidur), walau sadar sepenuhnya.

Hakikat Pencerahan

Yang dimaksud dengan pencerahan adalah keadaan sadar sepenuhnya terhadap kenyataan hidup, bahwa hidup selalu berubah dan bisa menerima perubahan tersebut. Sebagai contoh seseorang yang sedang dalam penderitaan karena kehilangan orang yang ia cintai. Ia menyadari bahwa penderitaan kehilangan tersebut akan berubah juga. Ia menyadari bahwa memang pada akhirnya kematian akan membawa orang-orang yang ia cintai. Ia menyadari bahwa perasaan sedihnya juga akan lenyap. Ia menyadari bahwa perasaan sedih tersebut hanyalah bentuk-bentuk aktivitas dari otak. Ia menyadari bahwa kebencian, ketidaktahuan atau kebodohan, keserakahan hanyalah aktivitas mental yang terjadi di otak. Ia menyadari bahwa apapun yang ada di dunia akan berubah. Ia menyadari bahwa setiap orang pasti mengalami perubahan juga. Pencerahan adalah kebebasan. Kebebasan dari penderitaan yang dialami. Pencerahan adalah keadaan menyadari sepenuhnya tentang perubahan sehingga menjadi bebas. Ia yang mencapai pencerahan adalah seorang Buddha. Jadi kesadaran yang tinggi mengiring pikiran menjadi lebih terbuka untuk menerima berbagai hal baru dalam kehidupan sehingga membuka pandangan seseorang. Padangan yang sempurna mengiring ke kebijaksanaan sejati atau pencerahan.

Pencerahan dapat dicapai pada kehidupan ini juga tanpa perlu berlama-lama mengarungi kehidupan yang penuh dengan ketidakbahagiaan. Pencerahan hanyalah sebuah pencapaian batin. Pikiran yang selalu tidak melekat, tanpa kebencian, tanpa kekejaman, tanpa keserakahan, tanpa kesombongan adalah bentuk batin yang tercerahkan. Pikiran yang terisi penuh dengan welas asih, cinta kasih universal, simpati, ketenangseimbangan, semangat hidup, rendah hati itulah batin yang tercerahkan.

Nirwana, Keadaan Pencerahan

Nirwana dapat dijelaskan dalam 4 makna:

1. Keadaan pencerahan tertinggi (kebebasan)

Ketika seseorang mencapai pencerahan, hal itu berarti ia telah mendapatkan dan menembus pandangan yang benar. Keadaan tersebut secara otomatis akan membuat pikiran, perasaan, emosi, dan tindakan seseorang selalu tanpa kemelekatan karena ia telah sadar sepenuhnya. Karena ia menyadari bahwa segala hal di alam semesta ini berubah maka dengan kata lain ia telah merealisasikan nirwana/kebebasan.

2. Kedamaian dan kebahagiaan sejati

Seorang yang telah mencapai nirwana akan merasakan kebahagiaan setiap saat. Kebahagiaan tersebut bukan kesenangan karena sensasi-sensasi yang diterima pancaindera yang membuat nyaman, bukan pula kebahagiaan yang didapat dari sebatas pengendalian pikiran. Kebahagiaan yang dirasakan adalah kedamaian yang tertinggi yang bebas dari rangsangan ataupun ego.

3. Kesempurnaan Moral

Seseorang yang telah terlepas dari kebencian atau penolakan (dosaa), keserakahan atau keinginan melekat (lobha), dan ketidaktahuan akan realitas hidup (moha atau awijja) disebut telah mencapai nirwana. Dualisme yang membeda-bedakan juga telah lenyap sehingga tidak akan membanding-bandingkan suatu konsep dengan yang lainnya.

4. Kesadaran tertinggi

Kesadaran seseorang dalam keadaan sadar sepenuhnya. Secara sains hal tersebut berarti aktivitas otak ketika berada bahkan pada gelombang delta, seorang Buddha akan tetap sadar manakala ada rangsangan yang datang. Mimpi juga tidak akan terjadi karena hal-hal yang menggelisahkan seorang Buddha telah lenyap sepenuhya (berhubungan dengan poin ke 2 karena seseorang yang mencapai pencerahan setiap saat mengalami kebahagiaan)

Evolusi kesadaran

Perbedaan manusia dengan hewan adalah dalam hal kesadaran. Ilmuwan membuktikan bahwa pada beberapa hewan kesadaran dan pikirannya telah ada, walau sangat amat jauh dari manusia. Beberapa hewan yang kita kenal pintar telah memiliki kesadaran yang lebih tinggi. Beberapa jenis monyet, anjing dan lumba-lumba mempuyai pikiran dan kesadaran yang cukup baik dibanding hewan yang lebih sederhana. Hal tersebut karena sejak awal, evolusi biologi telah sedikit demi sedikit membentuk makhluk hidup. Manusia adalah salah satu akibat dari evolusi yang mempunyai kesadaran yang tinggi. Namun, bukan berarti manusia yang paling sempurna karena beberapa hewan mempuyai kelebihan yang tidak dimiliki manusia, seperti anjing yang memiliki penciuman dan pendengaran yang tajam, kelelawar dapat mendeteksi gelombang utrasonik.

Setiap orang yang belum mencapai pencerahan memiliki kesadaran yang berbeda-beda. Ada orang yang kesadarannya lebih tajam. Ada juga orang yang kesadarannya masih kurang. Kesadaran manusia itu tidak konstan. Kadang naik kadang turun. Bukti ilmiah dari pengukuran aktivitas otak yang disebut sebagai gelombong otak menunjukkan hal tersebut. Ketika tidur, kesadaran kita yang paling lemah. Namun, orang yang telah terlatih dalam pelatihan mental akan memiliki kesadaran yang baik dan tenang.

Buddhisme adalah suatu ajaran yang mengajarkan bagaimana kita mengembangkan kesadaran hingga mencapai kesadaran yang tertinggi. Cara-cara yang dapat dilakukan adalah melalui meditasi dan perenungan. Meditasi sudah sangat umum dilakukan oleh umat Buddha. Meditasi melatih konsentrasi sehingga dapat menyadari atau berkonsentrasi, sedangkan perenungan melatih pikiran untuk membedakan dan membawa pikiran ke arah yang positif.

Wujud Nyata Kesadaran Tertinggi

Takkala seseorang telah mencapai kesadaran yang tertinggi, ikatan-ikatan dalam pikirannya telah lenyap sepenuhnya. Hal tersebut berdampak dalam setiap aktivitas dan kegiatan yang terwujud dalam tindakannya. Seorang Buddha akan bertindak sesuai dengan aturan moralitas yang paling dasar yang membentuk kehidupan. Pencerahan telah membuat seseorang menyadari bahwa di mana dan kapanpun siapapun, dari makhluk jenis hewan yang paling sederhana sampai manusia, tidak ingin mengalami penderitaan. Makhluk apapun ingin ketenangan, kebahagiaan dan kedamaian hidup. Hal tersebut akan membuat seseorang yang tercerahkan setiap saat bertindak berdasarkan hal demikian. Setiap tindakannya tidak akan membuat makhluk lain menderita. Setiap tindakannya selalu dipenuhi dengan welas asih dan cinta kasih yang universal tanpa batas.

Ia yang tercerahkan akan berucap dengan lembut, bermanfaat, benar apa adanya, tenang, menenangkan, menyenangkan, berharga, tepat waktu dan bertujuan. Ia yang tercerahkan akan bertindak sesuai dengan aturan moralitas paling mendasar dari setiap manusia, yaitu:

  1. Tidak akan melukai, menyakiti atau membunuh makhluk hidup baik secara langsung maupun tidak langsung
  2. Tidak akan mengambil apa yang bukan miliknya, mencuri, merampas, dan merampok.
  3. Tidak akan memuaskan dirinya dan terlarut di dalam kesenangan seksual dan kesenangan indria
  4. Tidak akan melakukan kebohongan, penipuan, ucapan-ucapan yang menyia-nyiakan waktu dan tenaga
  5. Tidak akan membiarkan dirinya dalam keadaan tidak sadar dan tidak rasional karena penggunaan barang-barang yang memabukkan atau membuat ketagihan.

Tindakan moralitas (sila) seseorang yang tercerahkan tidak mungkin melanggar prinsip etis yang paling dasar dari setiap makhluk hidup tersebut.

Referensi

Matthews, Robert. 2005. 25 Gagasan Besar: sains yang mengubah dunia kita. Jakarta: PT SERAMBI ILMU SEMESTA.

Pusat Bahasa Depatemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Silva, Lily de. 2008. Nibbana, Sebagai Suatu Pengalaman Hidup. Yogyakarta: KAMADHIS UGM.

Wijaya, Willy Yandi. Meditasi Buddhis Sudut Pandang Sains.

Wijaya, Willy Yandi. 2008. Pandangan Benar. Yogyakarta: Insight Vidyasena Production.

Kebenaran dalam Ucapan

Kebenaran dalamUcapan

Oleh: Willy Yandi Wijaya

Salah satu poin penting untuk mencapai kedamaian sejati[1] adalah melatih diri dalam ucapan yang sesuai dengan samma-vacca (Pali) atau samyak-vaca (Sansekerta) dalam Jalan-Mulia-Berunsur-Delapan[2]. Di dalam Aturan-Moralitas Buddhis (Panca-sila buddhis) sendiri terdapat aturan bagi umat biasa, yakni aturan ke-4 yang berbunyi “Menahan diri dari berbicara yang tidak benar.”

Dalam tulisan ini, penulis akan meninjau tentang ‘kejujuran-kebohongan’ dari dua perspektif. Perspektif pertama dilihat dari kesesuaiannya dengan Aturan-Moralitas Buddhis. Menurut aturan ke-4 pada  Aturan-Moralitas Buddhis kebohongan terbagi menjadi tiga tingkat[3]:

1. Kebohongan Langsung

Syarat terjadinya adalah pernyataan yang salah dan suatu usaha dengan sadar dilakukan untuk membuat kesalahan. Kebohongan dapat dilakukan secara fisik atau ucapan—gerakan isyarat/sikap dan tulisan termasuk. Wujudnya antara lain : berbohong terang-terangan (menghasut, menipu, menjilat, pengingkaran pernyataan sendiri), pelanggaran sumpah, tipu-muslihat, munafik, permainan kata-kata[4], melebih-lebihkan atau omong besar, menyembunyikan[5]).

2. Kebohongan tidak Langsung

Kebohongan ini biasanya tidak direncanakan dan terbagi menjadi : Kata-kata melukai (termasuk melebih-lebihkan dalam memuji, menghina); kebohongan yang tidak terpikir (tidak sengaja dilakukan dan sudah terlanjur diucapkan); sindiran dengan tujuan menghasut, menimbulkan perselisihan dan memang berdasarkan kenbenaran namun tetap salah karena didorong niat buruk.

3. Pelanggaran Janji

Melanggar janji juga dikategorikan berbohong baik itu perjanjian dua pihak, satu pihak, maupun pembatalan kata-kata (berjanji memberikan sesuatu kepada orang lain kemudian kata-kata itu diingkarnya)

Hal-hal berikut yang kelihatannya seperti berbohong namun sebenarnya tidak dapat dianggap sebagai kebohongan karena tidak adanya niat untuk menipu, antara lain : euphemisme[6], cerita kiasan (fabel), salah pengertian (terkadang salah jawab terhadap suatu pertanyaan—bukan ada niat).

Perspektif yang ke dua akan ditinjau dari salah satu unsur dalam Jalan-Mulia-Berunsur-Delapan, yakni Perkataan-Sempurna[7]. Buddha sendiri membagi Perkataan-Sempurna menjadi empat bagian[8]:

1. Menjauhkan diri dari perkataan bohong

Pernyataan Sang Buddha dalam Anguttara Nikaya 10:176, menunjukkan dua sisi dari perkataan sempurna, yaitu dari sisi negatif berarti menjauhkan diri dari berbohong dan sisi positifnya adalah mengatakan kebenaran. Faktor yang menentukan dari suatu perkataan dapat dianggap bohong adalah kehendak untuk berbohong.

2. Menghindari diri dari fitnah

Fitnah ditujukan untuk menciptakan permusuhan dan perpecahan. Biasanya didasari kebencian, iri hati atau sakit hati. Fitnah adalah salah satu pelanggaran moral yang berat karena dilandasi kebencian dan biasanya ketika melaksanakannya akan melakukan kebohongan sehingga karma/kamma negatifnya akan berlipat ganda.

3. Menghindari diri dari kata-kata kasar

Kata-kata kasar biasanya dilontarkan seseorang dalam keadaan marah atau emosi. Akar utamanya adalah kebencian yang diwujudkan dengan kemarahan. Jika dibandingkan dengan fitnah, akibat karma/kamma dari kata-kata kasar pada umumnya lebih ringan karena tanpa direncanakan. Cara mengatasinya adalah dengan melatih kesabaran.

4. Menghindari diri dari obrolan kosong

Obrolan kosong yang dimaksud adalah pembicaraan yang tidak bermakna. Buddha sendiri mengajarkan untuk menghindari hal tersebut karena bisa saja efek selanjutnya akan menjadi suatu hal yang negatif. Iklan-iklan di media massa atau informasi-informasi/gosip di televisi akan membuat pikiran menjadi tumpul dalam spiritual dan ketika rantai informasi atau gosip itu semakin beredar, biasanya akan mengalami pengurangan atau penambahan sehingga akan menjadi suatu fitnah.

Kejujuran sangat penting dalam proses melatih diri menjadi seorang Buddha. Dikatakan bahwa sebelum terlahir terakhir kalinya sebagai pangeran Sidhartha/Siddhattha, bodhisatta[9] bisa melanggar semua sila moral, kecuali ikrar untuk mengatakan kebenaran!

Untuk melaksanakan perkataan sempurna ada 4 hal yang perlu diperhatikan[10], yaitu:

1. Tingkat Ketulusan

Yang dimaksud tingkat ketulusan adalah sejauh mana perkataan seseorang sesuai dengan kebenaran. Jangan pernah melebih-lebihkan atau mengurangi kebenaran yang akan diucapkan. Biasanya kita akan sedikit atau bahkan banyak dalam membengkokkan fakta ke arah yang kita inginkan. Kita harus sadar dengan apa yang kita ucapkan.

2. Tingkat Penghargaan

Perkataan yang ideal tidak hanya tulus namun juga harus menghargai dan mencintai. Dengan mengetahui kebenaran (fakta) dan mengatakannya kepada orang lain, jangan pernah dengan pikiran yang hanya menguntungkan diri sendiri.

3. Tingkat Pertolongan

Selanjutnya perkataan yang sempurna juga tidak melupakan manfaatnya terhadap orang lain. Dimulai dari diri sendiri yang berpikir positif terhadap diri kemudian terhadap orang lain, sehingga perwujudannya dalam perkataan akan menjadi positif pula. Tingkat ini lebih melihat ke luar (lingkungan) setelah sebelumnya secara tulus dan cinta kasih dalam suatu komunikasi. Bahkan ketika sampai pada tingkat ini komunikasi kita akan semakin dalam terhadap orang lain dan kita akan ‘melupakan diri kita sendiri’.

4. Tingkat Harmoni dan Kesatuan

Tingkatan yang paling tinggi ini akan membawa kita pada perkataan yang harmoni, seimbang, selaras, dan utuh. Komunikasi ini lebih abstrak dan tidak hanya sekedar komunikasi verbal. Ketika memahami tingkatan ini ucapan langsung akan menjadi kurang berarti karena keagungan bukan diwujudkan dengan ucapan.

Sang Buddha bersabda:

Kata-kata yang mempunyai empat nilai adalah yang diucapkan baik, bukan pembicaraan jahat, tidak salah, dan tidak dicela para bijaksana. Apakah empat itu? Mengenai ini, seseorang berbicara dengan kata-kata yang indah, bukannya buruk; seseorang berbicara dengan kata-kata yang benar, bukannya salah; seseorang berbicara dengan kata-kata yang halus, bukannya kasar; seseorang yang berbicara dengan kata-kata penuh kebenaran, bukan kepalsuan.”[11]

Daftar Pustaka

  • Bodhi, bhikkhu. 2006. Jalan Kebahagiaan Sejati. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya.
  • Dhammika, Ven. S. 2004. Dasar Pandangan Agama Buddha. Surabaya: Yayasan Dhammadipa Arama.
  • Sangharakshita, Ven. 2004. Jalan Mulia Berunsur Delapan. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya.
  • Vajirananavarorasa, H.R.H. the late Supreme Patriarch Prince. Pancasila dan Pancadhamma dalam Agama Buddha. Jakarta: Sangha Theravada Indonesia.

[1] Kedamaian sejati yang dimaksud di sini mengacu pada nibbana (Pali) atau nirwana (Sansekerta)

[2] Arya astangika-marga (Sansekerta) atau Ariya Atthangika-magga (Pali)

[3] Lihat Vajirananavarorasa, hal. 21

[4] Permainan kata-kata: berbohong dengan mempermainkan kata-kata yang diucapkan.

[5] Mengurangi keadaan sebenarnya, kebalikan dari omong besar.

[6] Euphemisme yaitu suatu cara dalam pembicaraan atau tulisan yang tidak langsung menurut kebiasaan dan kadang-kadang hanya demi kesopanan. Seperti salam “terima kasih”, atau dalam surat “hormat saya” (lihat Vajirananavarorasa, hal. 26)

[7] Penulis menggunakan terjemahan dari Ven. Sangharakshita. Ada yang menerjemahkannya menjadi Pembicaraan Sejati (lihat Dhammika, hal. 92), Perkataan Benar (lihat Bodhi, hal.63)

[8] Lihat Bodhi, hal. 67-77

[9] Pengertian bodhisatta di sini secara tradisi Theravada, yaitu kehidupan lampau sang Buddha sebelum terlahir terakhir kalinya sebagai pangeran Sidhartha/Siddhattha.

[10] Lihat Sangharakshita hal. 102-120

[11] Sutta Nipata 449-450, lihat Dhammika hal. 92